
Bulukumba – Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, kini tak lagi menjalankan fungsi utamanya sebagai tempat berlabuh dan mendaratkan hasil tangkapan nelayan.
Pelabuhan yang seharusnya menjadi penopang kehidupan nelayan kecil itu beralih fungsi menjadi sentra pembangunan dan perbaikan kapal phinisi. Bahkan, pelabuhan juga ramai digunakan sebagai lokasi bersandar kapal-kapal wisata.

Hampir seluruh area PPI saat ini dikuasai aktivitas pembangunan kapal—mulai dari proyek kapal baru hingga perbaikan kapal lama. Akibatnya, nelayan lokal kehilangan akses untuk bersandar dan menurunkan hasil tangkapan.
“Sekarang PPI bukan lagi tempat kami mencari nafkah. Semua area sudah dikuasai aktivitas pembuatan kapal. Kami jadi bingung mau labuh di mana,” keluh Syamsuddin, ketua rombongan nelayan Bontobahari.
Tak hanya soal ruang, nelayan juga mengeluhkan dampak lingkungan akibat limbah industri phinisi. Potongan kayu, serbuk, hingga sisa material dilaporkan mencemari perairan sekitar pelabuhan. Kondisi ini dikhawatirkan merusak ekosistem laut dan mengurangi hasil tangkapan.
“Laut dipenuhi sampah kayu, limbah kapal, bahkan kabel listrik. Tidak ada penanganan dari pihak pelabuhan. Seolah pelabuhan ini hanya untuk kepentingan segelintir orang,” tegas Syamsuddin didampingi sejumlah nelayan.
Sorotan tajam pun diarahkan kepada pengelola pelabuhan. Arfa, pejabat pelaksana tugas UPT PPI Bontobahari, dinilai abai dan tidak menunjukkan tindakan tegas menghadapi masalah ini.
“Pak Arfa seolah tutup mata. Tidak pernah turun tangan. Kami masyarakat merasa diterlantarkan,” ucap seorang warga.
Warga bersama nelayan mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan instansi terkait segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan PPI Bontobahari. Mereka menuntut pelabuhan dikembalikan fungsinya sebagai pelabuhan rakyat yang berpihak pada kehidupan nelayan kecil.
Pada 2 Agustus lalu, tim investigasi LSM Triga Nusantara Indonesia (Trinusa) DPC Bulukumba menemui Arfa. Dalam pertemuan itu, Arfa membenarkan bahwa area PPI memang dipakai untuk pembangunan kapal phinisi dan pendaratan kapal turis. Ia menyebut penggunaan fasilitas tersebut telah disertai surat pernyataan bersama.
Namun, ketika ditanya soal nilai kontrak kerja sama, Arfa enggan membeberkan.
“Masa kita kerja begitu saja? Ada aturannya. Tapi soal nilai kontrak saya tidak bisa sebutkan,” ujar Arfa sambil tertawa.
LSM Trinusa menilai ada indikasi penyalahgunaan fasilitas negara sebagaimana diatur dalam Pasal 415 KUHP, Pasal 3 UU Tipikor, dan Pasal 11 UU Gratifikasi, yang berpotensi merugikan negara hingga miliaran rupiah. LSM tersebut telah melayangkan surat klarifikasi kepada pihak UPT PPI Bontobahari. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pengelola.