Baru-baru ini, media arus utama diramaikan oleh laporan tentang dugaan keberadaan tiga markas rahasia CIA di Indonesia yang terkait dengan peristiwa pembunuhan massal pasca-1965. Isu ini semakin mempertegas bahwa sejarah kekerasan politik di Indonesia bukan hanya sekadar konflik internal, tetapi juga memiliki dimensi geopolitik yang lebih luas. Temuan ini sejalan dengan apa yang diungkap dalam buku Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film karya Wijaya Herlambang.
Buku tersebut mengulas bagaimana rezim Orde Baru menggunakan film, sastra, dan berbagai produk budaya lainnya untuk membentuk narasi anti-komunis yang hingga kini masih berakar kuat dalam kesadaran publik. Melalui propaganda budaya yang sistematis, negara berhasil menciptakan stereotip terhadap kelompok yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga membenarkan tindakan kekerasan terhadap mereka. Dampaknya masih terasa hingga saat ini, di mana isu komunisme terus dijadikan alat politik untuk membungkam kritik terhadap negara.


Arsip pembunuhan JFK yang dirilis pemerintah AS berisi lokasi markas rahasia CIA di tiga kota Indonesia(National Archives AS)
Dalam konteks temuan terbaru tentang keterlibatan pihak asing dalam tragedi 1965, narasi yang dibangun oleh Orde Baru semakin dipertanyakan. Jika benar ada operasi intelijen asing yang turut serta dalam peristiwa tersebut, maka hal ini membuktikan bahwa pembentukan opini anti-komunis bukanlah murni dari dinamika politik domestik, melainkan bagian dari skenario global yang lebih besar. Selama puluhan tahun, masyarakat Indonesia telah disuguhi sejarah yang direkayasa, di mana aspek intervensi asing dihapus atau diminimalkan dalam wacana resmi.

Presiden John F Kennedy (paling kanan) bersama istrinya, Jacqueline Kennedy dan Wakil Presiden Lyndon Johnson di inauguration ball di Mayflower Hotel, Washington DC, AS pascapelantikan, 20 Januri 1961.(AFP)
Kini, dengan semakin banyaknya dokumen dan kesaksian yang terungkap, sudah saatnya publik membuka mata terhadap sejarah yang lebih objektif. Menggugat narasi yang diwariskan Orde Baru bukan berarti membenarkan komunisme, melainkan sebuah upaya untuk melawan manipulasi sejarah yang telah menghambat kebebasan berpikir dan berekspresi di Indonesia.
Apakah kita masih akan terus membiarkan diri dibodohi oleh warisan propaganda masa lalu? Ataukah kita siap untuk menerima sejarah dengan segala kompleksitasnya, tanpa intervensi kepentingan politik dan ideologi? Pertanyaan ini harus dijawab oleh kita semua, demi masa depan Indonesia yang lebih jujur dalam memahami sejarahnya sendiri
Sudut Pandang Pembaca pada buku : Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Filmu