Tan Malaka sebagai Penyemangat LSM Triga Nusantara Indonesia dalam Mencintai Tanah Air
Pada perang Jepang-Tiongkok, tepatnya di Shanghai penghabisan tahun 1931, tiga hari lamanya saya terkepung di belakang jalan bernama North Sichuan Road, tempat peperangan pertama kali meletus. Dari North Sichuan Road tadi, Jepang menembak ke arah Po Shan Road dan tentara Tiongkok dari arah sebaliknya. Di antaranya, persisnya di kampung Wang Pan Cho, saya dengan pustaka saya terpaku. Sesudah dua atau tiga hari berselang, tentara Jepang baru memberi izin kepada kampung tempat saya tinggal untuk berpindah rumah, pergi ke tempat yang lebih aman dalam tempo lima menit saja. Saya turut pindah tergopoh-gopoh. Tentulah sehabis perang, yakni sesudah sebulan lamanya, maka sehelai kertas pun tiada tersisa. Begitulah rapinya “Laliong” alias tukang copet bekerja. Tapi hal ini tidak membuat saya putus asa. Selama toko buku masih ada, selama itu pula pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan pun rela dikurangi!

Tan Malaka, dalam bukunya Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), menekankan pentingnya rasionalitas dan pemikiran ilmiah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurutnya, kehancuran suatu bangsa bukan hanya karena kelaparan atau kemiskinan semata, melainkan karena masyarakatnya kehilangan daya kritis dan kesadaran untuk berpikir. Jika rakyat berhenti berpikir, berhenti mengkritisi kebijakan yang merugikan, dan membiarkan korupsi merajalela, maka sesungguhnya itulah bentuk kematian yang sejati.
Semangat ini menjadi relevan dalam konteks Indonesia saat ini, terutama dalam kasus dugaan korupsi BBM di Pertamina yang menyeret nama Menteri BUMN, Erick Thohir. Kasus ini mengakibatkan kerugian negara yang mencapai Rp968,5 triliun, angka yang fantastis dan mencerminkan betapa rusaknya tata kelola energi nasional. Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini, dan Erick Thohir dinilai lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai pengelola BUMN. Bahkan, terdapat desakan agar ia ikut diusut dan mundur dari jabatannya untuk memastikan penyelidikan berjalan tanpa intervensi politik.
LSM Triga Nusantara Indonesia, sebagai organisasi yang peduli terhadap kebangsaan dan pemberantasan korupsi, harus menjadikan pemikiran Tan Malaka sebagai pilar perjuangan. Kita tidak boleh berhenti berpikir dan membiarkan kebijakan yang merugikan rakyat terus berlangsung tanpa perlawanan. Seperti yang diajarkan dalam Madilog, kita harus melawan kemapanan berpikir yang dogmatis dan menggantinya dengan kesadaran kritis yang progresif. Negara yang maju bukan hanya diukur dari kemakmurannya, tetapi juga dari sejauh mana rakyatnya berani berpikir dan bertindak melawan ketidakadilan.
Dalam situasi ini, peran LSM menjadi vital. Kita harus terus mengawal kasus ini, mendorong transparansi, dan memastikan bahwa negara tidak dikelola oleh segelintir elite yang mengabaikan kepentingan rakyat. Tan Malaka pernah berkata bahwa “sejarah adalah perjuangan berpikir,” dan kini, di tengah maraknya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, perjuangan berpikir harus kembali digelorakan.
Mari kita buktikan bahwa kita belum mati, karena kita masih berpikir, masih bergerak, dan masih mencintai tanah air dengan sepenuh hati.
Oleh, Panji Ilham Haqiqi,
Sekertaris Jenderal Lembaga Swadaya Masyarakat Triga Nusantara Indonesia
Reverensi, Judul Buku: Madilog Tan Malaka
Penulis: Tan Malaka
Kategori: Filsafat