Dalam sejarah Jepang, kebangkitan kelas samurai sering kali dipandang sebagai peralihan dari sistem aristokrasi istana menuju pemerintahan berbasis militer. Namun, jika ditelaah melalui perspektif Neo-historisisme, munculnya samurai bukan hanya hasil dari melemahnya kekuasaan pusat, melainkan juga akibat dari transformasi struktural dalam tatanan sosial dan ekonomi Jepang.
Pada periode Heian, sistem shōen—pengalihan kekuasaan ekonomi ke pemilik tanah—mendorong lahirnya pasukan swasta untuk menjaga keamanan daerah. Klan-klen besar seperti Taira dan Minamoto bertarung untuk menguasai Jepang dalam Perang Genpei (1180–1185), yang berakhir dengan kemenangan Minamoto no Yoritomo. Hal ini melahirkan Keshogunan Kamakura, sebuah bentuk pemerintahan militer yang menandai pergeseran kekuasaan dari istana ke tangan para samurai.

Dalam konteks Neohistorian, kebangkitan samurai bisa dilihat sebagai pergeseran otoritas dari legitimasi berbasis nasab menuju meritokrasi berbasis keahlian dan loyalitas. Samurai bukan hanya prajurit, tetapi juga administrator yang menerapkan kode etik bushido, yang menekankan kehormatan, kesetiaan, dan disiplin diri. Namun, di balik glorifikasinya, kode etik ini juga berfungsi sebagai alat kontrol bagi penguasa agar para samurai tetap tunduk pada sistem yang mereka bangun.
Namun, seperti semua struktur kekuasaan dalam sejarah, dominasi kelas militer tidak bertahan selamanya. Seiring waktu, keshogunan melemah akibat korupsi, isolasi politik, serta perubahan sosial dan ekonomi yang semakin menuntut modernisasi. Puncaknya terjadi pada Restorasi Meiji (1868), di mana kekuasaan Kaisar dikembalikan, dan kelas samurai secara bertahap dihapuskan melalui reformasi besar-besaran. Jepang beralih menuju sistem yang lebih modern, berbasis industrialisasi dan birokrasi profesional, meninggalkan sistem feodal yang bertumpu pada kekuatan pedang.
Ironisnya, para samurai yang dahulu menggulingkan aristokrasi istana justru mengalami nasib serupa ketika kekuasaan berpindah ke tangan teknokrat dan industrialis. Sejarah menunjukkan bahwa kekuatan yang dominan dalam suatu era selalu membawa benih kehancurannya sendiri. Jika kita melihat dinamika ini dalam konteks modern, muncul pertanyaan menarik:
➡ Apakah dominasi kekuatan militer atau kelompok tertentu dalam pemerintahan selalu berujung pada kejatuhan mereka sendiri? ➡ Apakah kita sedang melihat siklus yang sama dalam berbagai bentuk kekuasaan di era kontemporer?
Neo-historisisme mengajarkan bahwa sejarah bukanlah garis lurus, melainkan spiral dialektika yang terus berulang dalam bentuk berbeda. Dengan memahami pola ini, kita dapat belajar dari masa lalu untuk membaca tanda-tanda perubahan dalam dinamika kekuasaan saat ini. Sebagaimana para samurai yang tak menyadari bahwa sistem yang mereka bangun akan meruntuhkan mereka sendiri, mungkinkah kita juga sedang berada di ambang perubahan besar tanpa menyadarinya?
Sebagai refleksi, mari kita bertanya: Apakah kita ingin menjadi bagian dari sejarah yang sekadar mengulang pola lama, atau justru menciptakan paradigma baru yang lebih adaptif dan berkelanjutan?
Referensi:
The Rise of the Samurai – AGSA, Art Gallery of South Australia, diakses pada 28 Maret 2025;
The Genpei War: A Timeline | Nippon, diakses pada 28 Maret 2025.
#memeSejarah #Sejarah #Jepang #SejarahJepang #samurai
(Rumah Besar LSM Triga Nusantara Indonesia)