Dalam iklim demokrasi yang terbuka seperti hari ini, suara masyarakat melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Namun kekuatan itu hanya akan bermakna jika ditopang oleh kemampuan berpikir kritis dan keberanian menghadapi kesesatan berpikir — logical fallacy — yang kerap menyelinap dalam wacana publik.
Berpikir Kritis, Bukan Asal Tuduh
Banyak dari kita yang terjun dalam dunia advokasi dan kontrol sosial kerap terburu-buru dalam menarik kesimpulan. Kita lupa bahwa kecurigaan bukanlah bukti. Critical thinking menuntut kita memverifikasi informasi, memahami konteks, dan menyaring emosi agar tidak menjadi alat propaganda.

Kita harus berani mengajukan pertanyaan:
- Apakah data yang kita miliki cukup valid?
- Apakah argumen yang dibangun berdasarkan bukti, atau hanya narasi politik?
- Apakah kita sedang menilai masalah, atau menyerang pribadi?
Jangan Terjebak Kesesatan Berpikir (Logical Fallacy)
Logical fallacy adalah pola pikir keliru yang tampak logis tapi menyesatkan. Beberapa bentuk sesat pikir yang sering terjadi dalam gerakan sosial:
- Ad Hominem: Menyerang pribadi, bukan argumennya.
“Dia tidak layak dipercaya, karena dia pernah gagal proyek!” — Padahal argumennya mungkin benar. - Straw Man: Mengubah argumen lawan jadi lebih lemah agar mudah diserang.
“Mereka tidak setuju dengan aksi kita, berarti mereka pro korupsi!” — Ini bentuk distorsi. - False Dilemma: Seolah hanya ada dua pilihan.
“Kalau tidak ikut aksi, berarti kamu membela pelaku!” — Padahal bisa saja seseorang setuju tapi memilih pendekatan berbeda. - Appeal to Emotion: Memanipulasi emosi agar argumen diterima.
“Bayangkan penderitaan rakyat kecil!” — Empati penting, tapi argumen harus tetap berdasar data.
Mengapa Ini Penting Bagi Triger Trinusa?
Sebagai penggerak perubahan, triger Trinusa harus tampil bukan sekadar lantang, tapi juga tajam dan cerdas. Musuh utama perjuangan bukan hanya korupsi, tapi juga kebodohan yang menyamar dalam bentuk klaim tanpa bukti, hoaks, dan agitasi tanpa nalar. Jika kita ingin didengar, maka suara kita harus terlatih, tertata, dan berdasar.
Gerakan LSM bukan soal siapa paling keras berteriak, tapi siapa paling mampu mengajak publik berpikir jernih. Maka mari kita bangun budaya berpikir kritis, memeriksa fakta, dan menyaring emosi agar tidak menjadi alat pembodohan. Jadilah triger yang melek logika, bukan hanya semangat.