Oleh: Panji Ilham Haqiqi
Kabupaten Bekasi 19 Maret 2025

“Setiap hari orang meluruhkan rambut, kenapa tidak dengan hati?” – kalimat ini diucapkan oleh Che Guevara, seorang revolusioner yang namanya melegenda.
Kalimat ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah ajakan untuk introspeksi dan transformasi diri.
Jika kita mampu merawat tubuh kita setiap hari, mengapa kita tidak merawat hati dan pikiran kita? Mengapa kita tidak membersihkan diri dari keburukan, keserakahan, dan korupsi yang merusak tatanan sosial?
Dalam konteks Indonesia hari ini, kata-kata Che Guevara ini relevan untuk direfleksikan, terutama dalam menghadapi tantangan pemberantasan korupsi, reformasi hukum, dan dinamika politik yang sedang terjadi. Mari kita telaah lebih dalam.
Presiden Prabowo Subianto, dalam upayanya memerangi korupsi, telah melakukan langkah-langkah tegas.
Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak awal pemerintahannya, telah terjadi peningkatan signifikan dalam penanganan kasus korupsi.
Sebagai contoh, pada tahun 2025 saja, KPK menangani lebih dari 100 kasus korupsi dengan total kerugian negara yang mencapai triliunan rupiah.
Salah satu kasus besar yang menonjol adalah kasus korupsi di sektor proyek infrastruktur, yang melibatkan pejabat tinggi dan pengusaha.Referensi: KPK Catat 100 Kasus Korupsi pada 2025 (https://www.kpk.go.id)
Namun, pertanyaannya adalah: apakah pemberantasan korupsi ini sudah menyentuh akar masalah? Ataukah hanya sekadar “merontokkan rambut” tanpa membersihkan “hati” sistem yang korup? Korupsi bukan hanya soal individu, melainkan juga sistem yang memungkinkan praktik tersebut terjadi.
Tanpa reformasi sistemik, upaya pemberantasan korupsi hanya akan menjadi simbolis.Belakangan ini, ruang publik diramaikan oleh perdebatan terkait RUU TNI, RUU KUHP, dan beberapa RUU lainnya.
RUU TNI, misalnya, menuai kontroversi karena dianggap dapat mengembalikan dominasi militer dalam ranah sipil.
Sementara itu, RUU KUHP dinilai berpotensi melemahkan independensi kejaksaan dalam proses penyidikan.
Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah: apakah RUU-RUU ini dirancang untuk memperkuat sistem hukum atau justru mengembalikan kekuasaan ke tangan segelintir elite?
Jika kita merujuk pada kata-kata Che Guevara, kita perlu “merontokkan hati” dari sistem yang korup, bukan sekadar mengubah aturan tanpa menyentuh esensi masalah.
Sejak jatuhnya rezim Soeharto pada 1998, Indonesia telah mengalami transisi dari pemerintahan otoriter menuju demokrasi. Namun, ironisnya, korupsi justru semakin merajalela di kalangan sipil.
Banyak yang berargumen bahwa korupsi di era sipil bahkan lebih kejam daripada di era militer.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah korupsi bukanlah soal siapa yang berkuasa, melainkan bagaimana sistem itu dibangun dan dijalankan.
RUU TNI dan RUU KUHP harus dilihat sebagai upaya untuk memperkuat sistem, bukan melemahkannya.
Namun, jika RUU KUHP justru melemahkan kejaksaan dengan mengurangi kewenangan penyidikan, maka kita sedang menciptakan celah baru bagi korupsi.
Kejaksaan yang lemah akan membuat banyak kasus korupsi tidak tertangani, seperti yang terlihat dari antrean laporan yang belum diproses.
Melemahnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga 5% pada Maret 2025 adalah cerminan dari ketidakpastian hukum dan politik di Indonesia.
Pasar saham adalah barometer kepercayaan investor.
Jika IHSG melemah, itu menunjukkan bahwa investor tidak yakin dengan stabilitas hukum dan politik di Indonesia.
Penghentian sementara perdagangan saham pada 18 Maret 2025 adalah alarm bagi kita semua.
Jika kita tidak segera memperbaiki sistem hukum dan politik, maka bukan hanya pasar saham yang akan melemah, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Dalam bulan puasa ini, mari kita mengambil momen untuk introspeksi.
Kata-kata Che Guevara mengingatkan kita bahwa perubahan harus dimulai dari dalam.
Kita tidak bisa hanya membersihkan “rambut” (permukaan) tanpa membersihkan “hati” (esensi).
Pemberantasan korupsi, reformasi hukum, dan penguatan sistem politik harus dilakukan secara holistik.
Kita perlu merontokkan hati dari keserakahan, ketidakadilan, dan korupsi.
Hanya dengan begitu, Indonesia bisa menjadi negara yang lebih baik.
Che Guevara mengajak kita untuk tidak hanya fokus pada hal-hal yang terlihat, tetapi juga pada hal-hal yang tersembunyi di dalam hati.
Dalam konteks Indonesia hari ini, kita perlu membersihkan hati sistem kita dari korupsi dan ketidakadilan.
Mari kita jadikan bulan puasa ini sebagai momentum untuk refleksi dan perubahan. “Setiap hari orang meluruhkan rambut, kenapa tidak dengan hati?” – mari kita mulai dari diri kita sendiri.
Refensi :
1. Pemberantasan Korupsi oleh Presiden Prabowo
- Situs resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): www.kpk.go.id
- Berita terkait pemberantasan korupsi di media nasional seperti Kompas, Detik, atau Tempo.
2. Debat Terkait RUU TNI, RUU KUHP, dan RUU Lainnya
- Berita dari media terpercaya seperti Kompas, Detik, atau CNN Indonesia.
- Contoh artikel: Kontroversi RUU TNI dan Dampaknya
- Analisis dari lembaga riset seperti Setara Institute atau Indonesia Corruption Watch (ICW).
3. Urgensi RUU TNI dan Bahaya Lemahnya Kejaksaan
- Laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW): www.antikorupsi.org
- Analisis dari lembaga hukum seperti LBH Jakarta atau Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
4. Melemahnya IHSG dan Ketidakpastian Hukum
- Laporan dari Bursa Efek Indonesia (BEI): www.idx.co.id
- Analisis ekonomi dari media seperti Kontan atau Bisnis Indonesia
5. Refleksi atas Kata-kata Che Guevara
- Buku atau artikel tentang pemikiran Che Guevara, seperti “The Motorcycle Diaries” atau “Che Guevara: A Revolutionary Life”.
- Analisis filosofis tentang revolusi dan perubahan sosial.
- “Pemberantasan korupsi Prabowo 2025”
- “Debat RUU TNI dan RUU KUHP 2025”
- “Penyebab melemahnya IHSG Maret 2025”